Disclosure: Ulasan Final Fantasy VII Remake ini menggunakan review copy resmi yang disediakan oleh Square Enix.
Final Fantasy VII adalah game yang sangat spesial bagi banyak orang. Bagi sebagian penggemar, inilah game pertama yang memperkenalkan mereka pada keajaiban yang dimiliki oleh JRPG. Bagi sebagian lainnya mungkin bukan JRPG pertama, namun mereka merasa Final Fantasy VII adalah game terbaik sepanjang masa. Yang tidak termasuk dua-duanya, meski bukan penggemar berat, biasanya tetap mengakui bahwa Final Fantasy VII merupakan salah satu titik tertinggi dari seri Final Fantasy.
Tidak ada yang keliru dengan semua sentimen itu, hanya saja kita tidak boleh lupa bahwa Final Fantasy VII adalah sebuah game yang sangat kuno. Umurnya sudah 23 tahun, banyak di antara gamer generasi sekarang yang bahkan belum lahir ketika Final Fantasy VII dirilis dulu. Di mata mereka mungkin Final Fantasy VII sama sekali tidak terlihat menarik karena segala teknologinya sudah ketinggalan zaman.
Oleh karena itu, keputusan Square Enix untuk menciptakan Final Fantasy VII Remake adalah langkah sangat berani. Di satu sisi mereka harus memuaskan fans game orisinalnya, yang mungkin sudah terbius kacamata nostalgia sehingga lupa bahwa Final Fantasy VII juga punya kekurangan. Di sisi lain, Square Enix dituntut untuk menunjukkan pesona Final Fantasy VII ke generasi baru, dengan standar baru, selera baru, serta ekspektasi yang berbeda pula.

Salah langkah sedikit, Square Enix bisa diamuk oleh penggemar Final Fantasy VII orisinal. Tapi bila terlalu terpaku pada masa lalu, mereka justru bisa mengecewakan para pendatang baru. Tetsuya Nomura dan kawan-kawan harus berjalan meniti tali, menjaga sebuah keseimbangan sempurna yang akan memuaskan kedua jenis gamer. Jelas sebuah pertaruhan luar biasa.
Hebatnya, Square Enix berhasil melakukannya.
Memilah Keping-Keping Kenangan
Final Fantasy VII orisinal adalah sebuah game dengan skala masif. Sebenarnya bukan hanya Final Fantasy VII, banyak JRPG di era PS1 yang memang ambisius, berisi petualangan mencakup berbagai belahan dunia, kemudian ditutup dengan konfrontasi besar dengan musuh yang memiliki kekuatan setengah dewa. Ini hal biasa, sudah standar di zaman tersebut, dan merupakan pakem yang terbukti disukai penggemar.
Kemudian kita tiba di tahun 2020, di mana menciptakan sebuah game sesuai standar teknologi sekarang jelas jauh lebih mahal daripada 23 tahun lalu. Bayangkan berapa anggaran yang diperlukan kalau sebuah studio ingin menciptakan game dengan realisme modern namun tetap mengusung skala semasif Final Fantasy VII versi PS1.

Square Enix harus menciptakan ulang sebuah planet, lengkap dengan seluruh lanskap dan kota yang bervariasi. Ini tuntutan yang nyaris tak masuk akal. Entah berapa tahun waktu pengembangan yang dibutuhkan, dan kalaupun game-nya jadi dirilis, harganya pasti akan jauh di atas normal. Mau tak mau, Square Enix harus menetapkan sebuah batasan.
Final Fantasy VII Remake tidak menceritakan keseluruhan kisah Final Fantasy VII orisinal, dan hanya mengambil tempat di kota pertama yaitu Midgar. Sebagai perbandingan, Final Fantasy VII bisa kamu tamatkan dalam waktu kira-kira 40 jam, dan dari 40 jam itu, porsi Midgar kira-kira menghabiskan antara 5-6 jam permainan. Jadi Final Fantasy VII Remake hanya menceritakan 1/8 dari kisah keseluruhan.
Sebagai gantinya, Square Enix membuat 1/8 cerita itu jadi sangat padat dan jauh lebih mendalam dari versi asli. Jangan takut Final Fantasy VII Remake jadi game yang terlalu pendek, sebab 1/8 cerita itu kini dikembangkan menjadi sebuah representasi baru yang panjangnya setara dengan satu game utuh. Untuk menamatkan Final Fantasy VII Remake, kamu akan menghabiskan waktu sekitar 40 jam, kurang lebih sama panjangnya dengan Final Fantasy VII orisinal.

Pemilihan batasan ini saya rasa sudah tepat, sebab porsi Midgar memang punya peran yang signifikan dalam petualangan Cloud dan kawan-kawan. Di kota inilah banyak tokoh Final Fantasy VII tinggal, di sini juga musuh besar mereka–Shinra Electric Power Company–mendirikan markas. Midgar adalah tempat terjadinya banyak pertemuan dan perpisahan, juga akar banyak masalah yang akan terus menghantui Cloud di sepanjang perjalanannya.
Midgar, dan Segala Jiwa yang Menyangga
Midgar adalah kota metropolis yang merupakan jantung dari segala peradaban yang ada di planet Gaia. Di sini, Shinra Electric Power Company menciptakan teknologi untuk memanfaatkan energi Mako dalam kehidupan sehari-hari manusia. Penggunaan Mako meliputi aspek yang sangat luas, dari sekadar menyalakan lampu, menjalankan kereta api, hingga membuat manusia bisa mengeluarkan kekuatan sihir.
Sayangnya, manfaat besar itu harus dibayar dengan harga yang besar pula. Sejatinya Mako adalah energi kehidupan milik planet, sama seperti darah yang mengalir dalam tubuh manusia. Penggunaan Mako dalam jumlah besar lambat laun akan membuat planet sakit, sekarat, lalu mati. Sekelompok pihak yang tidak setuju dengan eksploitasi Mako kemudian mendirikan organisasi eco-terrorist, Avalanche, dengan harapan bisa menggulingkan Shinra dan memulihkan kondisi planet.

Cerita utama Final Fantasy VII Remake berpusat pada Cloud, mantan anggota pasukan elit Shinra yang disebut sebagai SOLDIER. Setelah keluar dari SOLDIER, Cloud beralih profesi menjadi tentara bayaran (mercenary), dan kini ia dikontrak oleh Avalanche untuk membantu mereka melawan Shinra. Satu yang tidak diketahui oleh Cloud, ternyata cara kerja Shinra tidak sesederhana perusahaan energi biasa.
Petualangan Cloud dan kawan-kawannya membawa mereka bersinggungan dengan berbagai macam legenda tentang planet Gaia, dan konflik lambat laun berkembang bukan hanya soal penyelamatan lingkungan tapi menjadi penentuan nasib umat manusia. Bagaimana petualangan itu berakhir, jawabannya harus kamu temukan sendiri.
Komitmen Square Enix ketika menciptakan Final Fantasy VII Remake adalah mereka ingin menunjukkan secara langsung betapa mengagumkannya kota yang disebut Midgar ini. Midgar punya struktur unik, berbentuk piringan melingkar seperti pizza dan terbagi ke dalam potongan-potongan yang disebut Sector. Di permukaan piringan, masyarakat kelas menengah ke atas hidup sejahtera berkat sokongan ekonomi dari Shinra. Sementara di bawah piringan, berkembang pemukiman miskin dan kumuh, yang penduduknya sering dipandang sebagai kasta rendahan oleh masyarakat Midgar lainnya.

Seluruh kondisi Midgar ini, baik secara fisik maupun secara sosial, digambarkan secara nyata dan mendetail dalam Final Fantasy VII Remake. Di era PS1 dulu kita disuruh berimajinasi sendiri sebesar apa kota Midgar itu sebenarnya, setinggi apa piringan yang melayang di atas, serta selebar apa jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Kini, dengan teknologi visual era PS4, semua itu bisa terlihat sangat jelas di depan mata.
Kadang-kadang saya bosan membahas game dari sisi visual, karena rata-rata game AAA zaman sekarang semuanya sudah punya kualitas grafis keren. Namun di Final Fantasy VII Remake, secara khusus ini perlu dibahas, sebab kita tidak hanya sedang berbicara kualitas. Kita sedang berbicara tentang betapa akuratnya Square Enix menerjemahkan kondisi Midgar dari era 32-bit ke era 3D modern.
Nyaris seluruh bangunan dan lingkungan dalam Final Fantasy VII Remake diciptakan dengan begitu detail, sambil tetap mempertahankan layout atau karakteristik dari versi orisinalnya. Ketika saya melihat Cloud dan kawan-kawan tiba di sebuah reaktor Mako misalnya, saya dapat merasakan betapa memuakkan keberadaan fasilitas tersebut di tengah-tengah kesenjangan hidup masyarakat Midgar. Ketika melihat markas Shinra yang menjulang begitu tinggi, saya dapat merasa kagum atas kecanggihan dan kemegahannya, tapi sekaligus merasa marah karena bangunan tersebut adalah simbol kuatnya cengkeraman Shinra atas penduduk Midgar.

Berpindah dari Sector di permukaan piringan ke undercity di bawah piringan, suasananya begitu kontras. Di atas sana banyak orang berjas dan berdasi, dengan rumah-rumah yang dibangun bagus beserta fasilitas kesehatan modern. Sementara di bawah, banyak orang hidup dari memulung barang-barang bekas, rumah-rumah mereka sederhana bahkan bobrok, masih ditambah lagi dengan serangan monster yang kerap kali muncul mengancam.
Perbedaan suasana juga tampak dari bagaimana para penduduk kedua sisi Midgar bersikap. Kalau di atas piringan, Avalanche dianggap sebagai teroris keji dan Shinra adalah perusahaan baik yang ingin mensejahterakan manusia. Sementara di undercity, kebencian terhadap Shinra kental terasa, dan tak jarang ada orang yang mengelu-elukan Avalanche sebagai pahlawan.
Penggambaran suasana sosial ini menguatkan salah satu elemen cerita yang di Final Fantasy VII asli kurang begitu terlihat, yaitu moralitas yang tidak bisa dipisah secara gamblang antara benar dan salah. Avalanche memang berniat menyelamatkan planet, tapi ketika aksi mereka mendatangkan banyak korban tak berdosa, apakah masih layak disebut organisasi baik?

Technically, tokoh utama game ini sebetulnya teroris, lho. Bila kita setuju dengan tindakan mereka, apalagi merasa bahwa mereka keren, apakah itu artinya kita mendukung terorisme? Boleh saja Avalanche berkilah bahwa mereka sedang mengejar suatu “greater good”. Tapi tujuan yang baik bila dilakukan dengan cara yang salah bukankah akan jadi salah juga?
Mereka Adalah Teman-Temanku
Kalau kamu merasa review ini lebih panjang dari ulasan saya biasanya, itu adalah bukti betapa Square Enix berhasil menciptakan game yang membuat saya berpikir dan merasakan emosi. Final Fantasy VII Remake tidak takut mengajak pemain untuk banyak berinteraksi dengan dunia dan karakternya. Kita diminta untuk bukan hanya mengenal, tapi juga melihat, mendengar, serta memahami orang-orang yang terlibat dalam kisah ini. Bukan hanya kehidupan kawan, tapi juga lawan dan mereka yang kita anggap sebagai antek kejahatan.
Final Fantasy VII Remake hanya memiliki empat karakter playable: Cloud, Barret, Tifa, dan Aerith. Namun tokoh utama yang menggerakkan cerita dalam game ini lebih banyak dari itu. Ada para anggota Avalanche lainnya, keluarga para tokoh utama, hingga para penduduk Midgar. Di sisi musuh tentu ada President Shinra dan kroni-kroninya, termasuk pasukan Turks yang terdiri dari Reno, Rude, dan Tseng. Kemudian Don Corneo sang penguasa distrik lampu merah, dan masih banyak lagi.

Ini masih ditambah dengan sederet karakter baru yang tidak kita temui di Final Fantasy VII orisinal. Saya merasa bahwa Square Enix memang merancang Final Fantasy VII Remake sebagai game yang sangat berpusat pada karakter. Karakter-karakter dalam Final Fantasy VII Remake bukan sekadar plot device yang hanya berfungsi memajukan cerita. Mereka punya kepribadian, motivasi hidup, serta masa lalu sendiri-sendiri.
Porsi peran tiap tokoh dalam game ini jelas tidak sama besar. Ada NPC yang hanya muncul sebentar, jadi pemberi sidequest, lalu menghilang. Namun kebanyakan dari mereka dibuat begitu hidup, terutama tokoh yang terlibat dalam cerita utama. Dan karena kita banyak menghabiskan waktu untuk memperhatikan dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh ini, kita jadi peduli apa yang terjadi pada mereka.
Ketika kita sudah peduli pada para karakter, setiap momen besar di dalam Final Fantasy VII Remake otomatis jadi terasa lebih mengena. Saat ada bahaya muncul, kita turut merasakan ketegangannya. Saat mereka bersedih kita jadi bisa bersimpati. Bahkan ketika ada tokoh musuh yang mengalami konflik batin, nuansa hati yang dilanda keraguan itu berhasil tersampaikan dengan sangat baik.

Salah satu faktor pendukung dari keberhasilan Square Enix menyampaikan cerita ini adalah akting kelas tinggi dari para pengisi suara tokoh Final Fantasy VII Remake. Mereka semua terasa begitu menghayati, begitu natural dengan penampilan dan pergerakan karakter yang diperankan sampai-sampai kamu akan merasa seperti sedang menonton film live action. Menurut saya kualitas akting dalam game ini tidak kalah dengan Death Stranding, hanya saja kadang memang dialognya lebih cheesy.
Bicara soal cheesy, istilah ini mungkin mengesankan sesuatu yang jelek, padahal menurut saya tidak juga. Seri Final Fantasy dari dulu memang selalu punya unsur cheesy, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai unsur chuunibyou. Tidak terkecuali Final Fantasy VII, sehingga ketika aspek tersebut muncul kembali di Remake itu sama sekali tak mengejutkan. Ada dialog-dialog “sok keren” yang terasa seperti diambil dari cuplikan komik Naruto, juga aksi-aksi tak masuk akal yang akan membuatmu mempertanyakan hukum fisika.
Anggap saja kamu sedang menonton sebuah anime. Ada beberapa stereotype yang sering muncul dalam anime, dan hal itu tidak perlu kita protes karena memang sudah jadi ciri khasnya (asal tak berlebihan). Jadi ketika kamu bermain game ini lalu muncul hal-hal yang terasa “anime-ish”, maklumi saja. Bila kamu merasa terganggu dengan itu, mungkin kamu bukanlah target pasar dari game ini, juga bukan target pasar dari Final Fantasy VII orisinal.

Banyak Jalan Memutar Menuju Roma
Final Fantasy VII Remake mengembangkan petualangan Cloud di Midgar dari 5 jam permainan menjadi 40 jam. Sebagian besar dari pengembangan itu harus diakui sangat memuaskan. Ketika momen pertemuan Cloud dan Aerith dibuat lebih panjang dan romantis, atau saat mendengarkan curahan hati Tifa di tengah malam, rasanya bagaikan benar-benar masuk ke dalam game dan mengalami semuanya secara langsung. Apalagi kalau kamu penggemar Final Fantasy VII orisinal, pengembangan ini akan terasa seperti fanservice yang disiapkan khusus untukmu.
Sayangnya tak semua pengembangan itu sama bagusnya. Cukup banyak juga “pengembangan” yang terasa tak perlu, malah terkesan dipanjang-panjangkan agar penggemar tidak protes karena Final Fantasy VII Remake kekurangan konten. Menurut saya, mungkin sekitar 30% dari konten dalam game ini sebetulnya hanya filler atau padding.

Filler ini sama-sama hadir di aspek gameplay maupun cerita. Rasanya agak menyebalkan, apalagi bila muncul di tengah-tengah situasi yang seharusnya lumayan genting. Kamu baru saja terpisah dari teman-temanmu setelah sebuah misi dan harus segera bergabung bersama mereka di markas? Nanti ya, ayo mampir dulu untuk bermain mini-game menggebuki kardus. Jangan lupa juga untuk membantu seorang wartawan mencari bahan berita. Oh, sekalian bantu mencari anak-anak yang hilang agar reputasimu meningkat.
Saya bosan sekali menjalankan sidequest semacam ini. Pergi ke tempat A untuk mencari B, lalu pergi ke tempat C untuk mencari D. Final Fantasy VII Remake bukan game open world, jadi betahkanlah dirimu untuk melakukan banyak backtracking. Memang ada sebagian sidequest yang mengandung cerita seru atau pertarungan menarik, tapi kebanyakan isinya hanya fetch quest biasa. Untungnya Final Fantasy VII Remake punya gameplay yang sangat keren, sehingga fetch quest atau filler tadi masih dapat ditolerir untuk dimainkan.
Press R1 to Win
Beda dari Final Fantasy VII orisinal, Final Fantasy VII Remake tidak lagi menggunakan sistem pertarungan turn-based. Tapi bukan berarti game ini jadi terasa “tidak seperti Final Fantasy VII“. Justru kebalikannya, meskipun bukan murni turn-based, sistem pertarungan di sini rasanya mirip sekali dengan Final Fantasy VII asli.

Inti dari pertarungan masih sama seperti dulu, yaitu sebuah sistem yang disebut Active Time Battle (ATB). Saat bertarung, tiap karakter memiliki sebuah meteran ATB yang akan terisi perlahan-lahan. Ketika meteran ini mencapai titik tertentu, kamu bisa menggunakannya untuk melakukan suatu aksi, seperti mengeluarkan skill, magic, atau item. Dan selagi kamu sedang memilih aksi ATB ini, pertarungan akan memasuki kondisi slow motion nyaris berhenti total, sehingga kamu bisa memikirkan strategi tanpa terburu-buru.
Karaktermu memang bisa menyerang musuh secara langsung dengan pukulan-pukulan biasa, tapi damage yang dihasilkan relatif kecil. Selain itu sebagian besar musuh dalam game ini selalu punya titik kelemahan sendiri. Contohnya, monster yang terbang di udara umumnya lemah terhadap magic elemen angin, sementara tentara Shinra yang membawa tameng lemah pada elemen api. Untuk menyerang titik kelemahan itu, kamu harus memanfaatkan aksi yang hanya bisa dilakukan dengan menghabiskan ATB.
Bertarung dengan button mashing saja tidak akan optimal, malah bisa membuatmu sering game over. Jadi pada akhirnya serangan biasa yang kamu lakukan dengan menekan tombol kotak itu bukanlah metode serangan utamamu. Kegunaan utama serangan normal justru hanyalah untuk mengisi ATB. Meskipun secara visual terlihat kental action, sebetulnya Final Fantasy VII Remake punya fokus yang besar pada strategi, persis seperti Final Fantasy VII klasik dahulu kala. Kecuali kalau kamu sedang melawan musuh yang memang lemah.

Asyiknya lagi, setiap karakter playable di Final Fantasy VII Remake punya gaya main berbeda yang semuanya sama-sama menarik. Cloud adalah seorang tank yang ahli menahan serangan musuh di garis depan. Barret adalah marksman yang bisa menyerang musuh dari jarak aman. Tifa mungkin bisa disebut assassin, serangannya cepat dan kuat namun agak tricky untuk dioptimalkan. Sementara Aerith adalah mage, lemah secara fisik namun mampu menghasilkan damage luar biasa bila kondisi tepat.
Keasyikan bermain semakin diperkuat dengan pilihan kustomisasi karakter yang sangat luas dalam wujud senjata. Sistem kustomisasi ini tergolong cukup unik. Ketika karakter level up, mereka akan memperoleh apa yang disebut Skill Point (SP). SP ini kemudian dapat ditanamkan ke dalam senjata yang mereka miliki, untuk menentukan stat, skill, buff, serta slot Materia dalam senjata tersebut.
Ini berarti, meskipun Cloud pada dasarnya seorang tank, kamu bisa membuatnya jadi ahli magic juga asalkan kamu mengisi SP di senjata yang tepat. Kalau kamu ingin Cloud punya stat yang seimbang antara ofensif dan defensif, itu juga bisa. Atau mau jadi tukang gebuk full offense yang tidak bisa magic sama sekali? Silahkan, ciptakan Cloud (dan karakter-karakter lainnya) yang sesuai dengan seleramu. Go wild!

Kustomisasi akan lebih dalam lagi ketika kita sudah mulai mengulik tentang Materia. Materia adalah bola-bola kristal yang dapat memberikan kemampuan khusus pada penggunanya, entah dalam wujud magic atau kemampuan lain. Berapa banyak Materia yang bisa kamu gunakan, itu tergantung dari slot yang dimiliki senjata atau aksesoris milikmu.
Jumlah Materia dalam game ini cukup banyak, dan ketika digabungkan dengan kustomisasi senjata, kemungkinan kombinasinya jadi luas sekali. Saya paling suka memasangkan senjata Mythril Saber ke Cloud, karena senjata ini memiliki banyak slot Materia dan stat magic yang tinggi. Meski stat attack jadi rendah, Cloud saya tetap jago pukul-pukulan, karena ada Materia Elemental yang membuat tiap serangannya mengandung damage bonus dari magic. Ini hanya salah satu contoh build, praktiknya dalam game bisa lebih luas dan aneh-aneh.
Komplain saya terhadap gameplay di Final Fantasy VII hanya satu: sepertinya Cloud terlalu overpowered. Kalau soal kesenangan, semua karakter di game ini sama menyenangkannya untuk dimainkan. Tapi kalau soal efektivitas, saya rasa Square Enix memberi tools yang terlalu kuat kepada si pria berambut Chocobo ini.

Tools yang saya maksud adalah kemampuan unik Cloud, yaitu kuda-kuda spesial bernama Punisher Mode. Ketika kuda-kuda ini aktif, Cloud hanya bisa berjalan sangat lambat, juga tidak bisa menangkis serangan jarak jauh ataupun magic. Sebagai gantinya, bila kita melakukan blocking (tombol R1) saat Punisher Mode, semua serangan melee dari musuh secara otomatis akan di-counter.
Ketika pertama kali mencoba Punisher Mode, saya mengira bahwa pasti teknik ini tidak akan efektif kepada serangan-serangan boss. Tapi nyatanya saya salah. Punisher Mode bisa digunakan untuk mementalkan serangan milik nyaris semua boss musuh, termasuk boss terakhir sekalipun! Strategi saya saat melawan boss terakhir literally hanya tahan tombol R1 sambil Punisher Mode, counterattack, lalu sekali-sekali heal. Benar-benar brain dead.
Lucunya, Punisher Mode itu padahal sudah overpowered, masih ditambah dengan satu skill defensif lagi bernama Counterstance. Dengan menghabiskan 1 meter ATB, Cloud akan masuk ke mode defensif sementara, lalu bila diserang, ia mengeluarkan counterattack yang lebih kuat. Gilanya lagi, Cloud bisa menggunakan Counterstance tanpa mengaktifkan Punisher Mode. Artinya ia tetap bisa menangkis serangan jarak jauh dan magic, menjadikan Cloud sebuah tempurung kura-kura yang sempurna.

Tools yang terlalu kuat ini membuat sejumlah pertarungan duel melawan boss yang seharusnya keren malah jadi terasa agak garing. Akhirnya saya lebih sering memilih mengendalikan karakter lain seperti Barret atau Tifa, sebab bermain sebagai Cloud terlalu gampang dan agak monoton juga. Secara cerita ini masuk akal sih, karena Cloud memang seorang “supersoldier” yang sangat kuat jauh di atas manusia normal.
Melampaui Mahakarya
Terakhir, saya ingin membahas tentang musik dalam Final Fantasy VII Remake. Dari segala aspek yang ada dalam game ini, musik adalah favorit saya, dan saya sama sekali tidak menyangka musiknya bisa sedahsyat ini. Komposisi musik dalam Final Fantasy VII orisinal saja sudah sebuah mahakarya, tapi ternyata Square Enix berhasil melampaui mahakarya itu.
Bagaimana cara untuk melampaui sebuah mahakarya? Sekadar me-remix lagu-lagu lama saja tentu tidak cukup, karena itu artinya kita hanya mendaur ulang tanpa melakukan sesuatu yang baru. Cara Square Enix melampauinya adalah dengan mengubah implementasi soundtrack dalam game ini, menjadi lebih handcrafted dan dinamis.

Handcrafted di sini maksudnya adalah setiap musik didesain tidak hanya sebagai hiasan, melainkan sebagai alat penguat dari adegan apa pun yang sedang terjadi di layar. Kapan musik dimulai, lagu apa yang diputar, sampai mengapa lagu itu yang diputar, terasa dipikirkan dengan matang dan detail.
Satu contoh saja, penggemar Final Fantasy VII tentu tahu battle theme yang berjudul “Tatakau Monotachi” (Those Who Fight). Dulu, lagu ini selalu muncul setiap pertarungan non-boss terjadi. Tapi kini tidak lagi. Lagu “Tatakau Monotachi” hanya muncul di saat-saat tertentu, ketika pertarungan sedang serius dan pertaruhannya besar. Misalnya ketika Cloud sedang melindungi Aerith dari serangan prajurit Shinra.
Lagu itu pun tidak diputar begitu saja lalu berhenti tiba-tiba, seperti JRPG zaman dulu. Final Fantasy VII Remake menggunakan transisi musik dinamis. Maksudnya, setiap lagu dalam game ini memiliki berbagai macam bagian aransemen. “Tatakau Monotachi” tadi misalnya, akan terdengar upbeat dan seru ketika kamu sedang berhadapan dengan musuh. Tapi ketika musuh sudah kalah, lagunya tidak berhenti berjalan. Hanya aransemennya yang berubah, menjadi lebih kalem namun tetap menunjukkan bahwa bahaya belum berakhir.

Pergantian lagu hanya terjadi ketika kamu benar-benar berpindah tempat, atau ketika memasuki pergantian adegan cerita. Itu pun pergantiannya begitu halus sehingga kadang-kadang tidak saya sadari. Walau tanpa sadar, musik itu senantiasa ada dan senantiasa berubah mengikuti titik-titik penting dalam cerita. Musik dalam Final Fantasy VII Remake berperan besar membuat pertarungan jadi lebih seru, cerita jadi lebih mendebarkan, serta drama jadi lebih emosional.
Kesimpulan: Tetap Cinta Walau Kini Berbeda
Saya setuju sekali dengan ulasan dari Maximilian Dood yang mengibaratkan Final Fantasy VII Remake sebagai sebuah roller coaster. Ketika kamu menaiki roller coaster, ada waktunya kamu berada di tempat yang tinggi sekali, tapi kemudian kamu juga bisa terjun ke tempat yang rendah. Terkadang roller coaster berjalan lambat dan datar-datar saja, tapi kemudian berubah melaju cepat sampai kamu lupa bernapas.
Final Fantasy VII Remake persis seperti itu. Terkadang ceritanya bisa sangat keren dan sangat berkesan, tapi beberapa saat kemudian berubah jadi filler yang membosankan. Satu waktu kita dihadapkan pada pertarungan yang sangat seru, lalu beberapa menit kemudian petualangan terhenti oleh fetch quest tanpa makna.

Pertanyaannya tinggal apakah titik-titik tinggi dalam game ini mampu mengalahkan titik-titik rendahnya, dan menurut saya, Final Fantasy VII Remake berhasil dengan sempurna. Saya merasa game ini adalah salah satu karya Square Enix yang paling memuaskan dalam beberapa tahun terakhir, bahkan meskipun saya bukan penggemar berat Final Fantasy VII orisinal.
Untuk orang yang belum pernah memainkan game versi aslinya, Final Fantasy VII Remake menyajikan pengalaman kualitas tinggi yang terasa modern. Game ini terasa pas sekali hadir di generasi sekarang, dan berkenalan dengan karakter-karakter ikonik di dalamnya untuk pertama kali pasti terasa sangat menyenangkan.
Sementara bagi penggemar lama, Final Fantasy VII Remake punya beberapa hal yang berbeda jauh dari versi orisinal. Sebagian besar cerita game ini masih sejalan dengan cerita aslinya, tapi Square Enix memperkenalkan konsep baru yang berpotensi membuat kelanjutan ceritanya melenceng sangat jauh nanti. Secara pribadi saya merasa konsep baru itu bukan masalah, bahkan cukup menarik. Namun pendapatmu bisa jadi berbeda.

Terlepas dari kamu suka atau tidak pada konsep baru tersebut, Final Fantasy VII Remake tetaplah sebuah masterpiece yang wajib dimainkan. Di dalamnya memang ada beberapa kekurangan yang kadang-kadang membuat saya gemas. Namun poin-poin positif dalam game ini benar-benar bagus sampai semua kekurangan itu tak saya pedulikan lagi. Langsung saja beli dan rasakan sendiri, kencangkan sabuk pengamanmu karena roller coaster ini masih belum selesai melaju.