Review Destiny 2 Renegades – stok copium baru untuk penyuka Destiny


Jika digarap dengan totalitas, mungkin Renegades bisa lebih bagus daripada campaign Red War Destiny 2

Setelah delapan tahun menghadirkan hiburan space opera yang sedikit banyak terinspirasi oleh Star Wars, kini Bungie tidak lagi malu-malu menyembunyikan pengaruh besar film itu lewat adaptasi kreatif yang diharapkan bisa membawa para pemainnya balik lewat Destiny 2: Renegades.

Sebagai mantan pemain yang pernah dikecewakan Destiny 2, Gimbot awalnya tidak menaruh ekspektasi besar terhadap DLC ini. Namun setelah menghabiskan waktu bermain puluhan jam (guna memahami konteks DLC Destiny 2 sekarang dan demi pedang lightsaber), bisa disimpulkan bahwa setidaknya Renegades akan memperoleh respons yang sedikit lebih positif dibandingkan DLC Destiny 2 sebelumnya, Edge of Fates. Berikut ulasannya.

Permak ulang dengan cita rasa Star Wars yang nyaris sempurna

Renegades yang muncul di akhir 2025 ini terasa seperti momen pembuktian Destiny 2 atas keputusan Bungie untuk membagi konten annual Destiny 2 menjadi dua kali rilis DLC per tahun (biannual). Ekspansi dengan cakupan scope yang lebih kecil dibandingkan ekspansi di tahun-tahun sebelumnya ini bertujuan untuk eksplorasi format konten baru yang lebih variatif, tentunya tanpa meninggalkan identitas Destiny 2 yang sudah melekat begitu kuat di ranah online looter shooter.

Nah setelah bereksperimen menyajikan konten metroidvania-ringan ala Metroid Prime di DLC The Edge of Fate, kali ini Destiny 2 mencoba memadukan sedikit elemen roguelike lewat konten Renegades, dengan balutan cerita Star Wars sebagai bumbu utamanya.

Langkah utama yang diambil Renegades adalah merombak atmosfer Destiny menjadi sesuatu yang terasa familiar bagi penggemar Star Wars. Ekspansi ini membawa pemain ke dalam konflik rebelious Guardian melawan Barant Imperium, faksi Cabal baru yang mengenakan armor putih ala Stormtrooper, lengkap dengan pangkalan luar angkasa yang berfungsi sebagai Death Star versi mereka.

Bungie sendiri cerdik memanfaatkan aset planet yang sudah ada untuk mereplikasi lokasi ikonik Star Wars. Mereka menyulap Mars menjadi gurun Tatooine yang gersang lengkap dengan lokasi cantina yang menjadi hub para pemain, serta mengubah satelit bulan di Jupiter sebagai rawa-rawa Dagobah dan planet es Hoth.

Bungie punya banyak bahan oke untuk membuat adaptasi Star Wars yang seru, namun tidak punya waktu luang karena produksi yang terjal.

Tokoh-tokoh lama Destiny 2 pun terasa seperti cerminan dari karakter film Star Wars. Di sini sosok Drifter mencoba memainkan peran Han Solo yang karismatik, Eris Morn sebagai sosok bijak ala Princess Leia, serta tokoh antagonis baru bernama Dredgen Bael yang baik secara visual maupun kepribadian, sangat mirip seperti Kylo Ren.

Meskipun adaptasinya kelihatan seperti Star Wars versi parodi B-movie, namun Gimbot akui bahwa eksekusi awalnya sangatlah efektif dan menggugah minat player untuk terus menyelami Renegades. DLC ini memberikan penyegaran visual yang sangat dibutuhkan setelah bertahun-tahun melihat estetika Destiny 2 yang begitu-begitu saja.

Namun, narasi Renegades yang begitu potensial ini menderita akibat format rilis biannual dari Bungie. Penuturan cerita yang seharusnya memiliki bobot emosional terasa terburu-buru dan dipadatkan di sana-sini, sehingga membuat plotnya terasa terjadi begitu cepat, tanpa ada ruang untuk meresapi konflik dan perkembangan cerita.

Kamu juga akan menemukan beberapa bobot produksi yang rasanya seperti dipotong paksa di sana-sini. Sosok Ghost yang biasanya jadi partner paling cerewet soal omongan di setiap DLC Destiny 2, entah kenapa jadi diam, sehingga tanpanya petualangan Guardian kali ini terasa seperti pepatah “bagai sayur kurang garam”.

Combo antara roguelite, extraction, dan invasion yang menarik

Meskipun presentasi terasa campur aduk, faktor gameplay di sini menjadi tempat di mana Renegades benar-benar bersinar. Bungie kali ini memberikan tantangan baru lewat format misi endgame berbasis no shield/ no health regeneration, tipikal ala game shooter 90-an bernama Lawless Frontier.

Kamu diberikan beberapa kali revive di setiap sesi, dan harus memanfaatkan kesempatan revive ini sebaik mungkin demi penilaian skor akhir level, atau keberhasilanmu menyelesaikan misi. Kamu bisa saja healing lewat drop power up di sekitaran level. Jika kehabisan opsi revive, maka misi pemain akan gagal dan mereka perlu mengulang dari awal.

Pemain kini juga mendapatkan dua slot skill alternatif yang digunakan secara spesifik untuk rangkaian misi di DLC Renegades. Kamu di sini bisa memanggil serangan udara, healing drone, summon AT-ST walker, hingga menjatuhkan drop pod berisi pasukan Cabal yang bisa membantu pertempuran.

Untuk menambah semarak, Bungie juga menyelipkan elemen player invasion ala Gambit ke dalam misi endgame. Layaknya invader di game Dark Souls, tugasmu adalah mengganggu kelompok player lain dengan menghabisi mereka agar kesempatan revival mereka dan nilai mereka berkurang. Invasion 3 vs 1 tersebut memberikan esensi PvEvP menegangkan yang membuat endgame Destiny 2 kali ini terasa lebih dinamis dari sebelumnya.

Lightsaber bukan sekedar gimmick, bisa jadi build baru

Penambahan Blaster sebagai kelas senjata baru memberikan variasi gunplay yang lumayan untuk Destiny 2, apalagi jika kamu nerd penggila pop culture dan science fiction. Kamu yang selama ini bermain jadi Hunter dan berkhayal sebagai seorang gunslinger akan pergi meninggalkan Hand Cannon lamamu demi pistol Blaster ala Han Solo yang tembakannya jitu.

Bungie kali ini memperkenalkan senjata exotic baru berupa Praxic Blade, pedang lightsaber ala Star Wars yang menjadi alasan utama bagi pemain Destiny 2 untuk membeli Renegades. Tanpa DLC ini, pemain tidak bisa membuat build karakter spesifik yang memanfaatkan gaya aksi berpedang akrobatik ala Jedi/Sith di film Star Wars.

Kamu bisa memakai senjata ini untuk menangkis tembakan laser, melempar pedang ala bumerang, dan melakukan tebasan cepat yang memuaskan. Misi untuk mendapatkan senjata ini juga tergolong menarik. Kamu perlu menekuni level dungeon penuh misteri puzzle platforming, bahkan melakoninya hingga berulang-ulang ke tingkat difficulty sulit hanya untuk melakukan upgrade Praxic Blade.

Sayangnya, kegembiraan bermain sebagai “Jedi ala Destiny” ini harus terbentur realitas pahit model bisnis Bungie. Salah satu kritik terbesar terhadap ekspansi ini adalah keputusan untuk mengunci variasi warna dan desain pegangan Praxic Blade di balik microtransaction Eververse. Setelah berjuang menyelesaikan tantangan sulit untuk upgrade senjata tersebut, kemudian sadar bahwa kustomisasi visual terbaiknya harus dibeli dengan uang terasa seperti tamparan bagi pipi Gimbot. Mungkin Gimbot harus bekerja lebih ekstra dan cari uang lebih banyak untuk memperkaya Bungie.

No Strikes, no crucible map, no problem?

Harga yang mungkin harus dibayar pemain Destiny 2 untuk DLC kali ini adalah variasi konten yang tidak begitu lengkap, jika dibandingkan DLC era sebelum biannual content release terdahulu. Sama seperti Edge of Fate, kamu tidak menemukan misi PvE untuk mode Strike di sini, atau map PvP Crucible tambahan baru.

Pihak Bungie sepertinya hanya ingin pemain fokus kepada aktivitas PvEvP Lawless Frontier yang digadang-gadangkan sebagai extraction shooter-nya Destiny 2. Ini bisa menjadi kabar buruk, dan juga kabar baik bagi pemain. Kabar buruknya, Bungie kelihatannya semakin mengabaikan para player penggila deathmatch di Crucible. Kabar baiknya, kamu yang familiar dengan Gambit di DLC Destiny 2 Forsaken akan merasa bernostalgia sebagai Invader di sesi permainan orang lain.

Meskipun konteks extraction-nya sendiri terdengar bagus, sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan penambahan loot gear baru yang signifikan. Setelah puluhan jam bermain, reward loot yang Gimbot dapatkan terasa sangat monoton karena memang disesuaikan dengan konteks misi DLC Renegades yang sedang dimainkan, sehingga mau tidak mau Gimbot kemudian memakai hasil loot ini untuk proses kanibalisasi gear score baru di equipment lama yang Gimbot peroleh.

Kesimpulan: beli atau tidak?

Renegades terasa seperti stok “copium” baru bagi fans serial Destiny 2 ini untuk bermain kembali, apalagi setelah ekspansi sebelumnya dinilai kurang dari segi variasi gameplay dan konten. Secara keseluruhan, it’s the same old Destiny 2.

Pertanyaannya sekarang bakal sampai sejauh mana player bisa bertahan menghadapi dinamika naik-turunnya game live service yang telah berusia delapan tahun ini? Bagi pemain baru, daya tarik Star Wars di Renegades mungkin bisa jadi jalan masuk pertamamu, asalkan kamu bisa mengatur ekspektasimu (dan juga abai dengan ekspansi sebelum-sebelumnya). Just focus on the grind, not the flawed story presentation.

Overall, Destiny 2 Renegades adalah suguhan loot grind dengan cita rasa Star Wars yang oke, namun akan terasa sulit untuk direkomendasikan kepada mayoritas gamer yang dari awal kurang tertarik atau mungkin terlanjur antipati terhadap Destiny.

Aksi tembak menembak Destiny 2 masih tetap yang terbaik di kelasnya. Namun loot pool yang terasa kurang banyak serta potongan alur cerita yang berasa kurang kohesif di beberapa bagian, membuat Renegades terasa lebih cocok untuk dibeli saat muncul di halaman diskon aja.

Mainkan jika:
– Masih setia dengan grinding dan aksi raid bersama Clan kamu di Destiny 2,
– Kamu fans Star Wars dan ingin mencari bentuk adaptasi lain cerita klasik filmnya,
– Kamu ingin memberikan kesempatan “balik” kesekian kalinya ke Destiny 2,
– Kamu new player dan ingin langsung lompat ke Destiny 2 tanpa peduli dengan ekspansi sebelumnya (anggap saja kamu sedang bermain game adaptasi teatrikal Star Wars di dunia Destiny)

Pikir dulu jika:
– Kamu kurang suka dengan grinding wajib online ala MMO Destiny 2,
– Backlog game MMO-mu banyak dan kamu tidak punya waktu lebih,
– Kamu sakit hati dengan keputusan Content Vault yang menghilangkan lebih dari sepertiga konten original Destiny 2 yang pernah kamu beli dengan uangmu (Red War, Curse of Osiris, Forsaken, dan lain-lain).


Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Hideo Kojami

Post-apocalyptic game connoisseur. Gamer dad yang suka main game bertema kiamat nuklir