Transformasi Capcom, dari Korban Hujatan Hingga Jadi Developer Favorit Penggemar


Capcom pernah dipandang sebagai developer menyebalkan yang tak peduli fans. Tapi hal itu sudah berubah. Bagaimana proses transformasinya?

Dunia gaming selama tiga tahun terakhir ini sepertinya adalah masa-masa keemasan bagi Capcom. Setiap tahun selalu saja ada game keluaran Capcom yang berhasil mencuri perhatian. Memang ada juga sejumlah produk mereka yang kurang disukai pasar, Marvel vs. Capcom Infinite contohnya. Namun lebih sering, karya-karya perusahaan asal Osaka ini dipuji oleh kritikus maupun penggemar, dan laku keras di pasaran.

Begitu dahsyatnya sepak terjang Capcom, sampai sejumlah gamer menyebut mereka dengan istilah “Capgod”. Padahal kalau kita tengok lebih jauh ke belakang, ada masa di mana Capcom banyak dibenci, dan sering sekali mendapat protes entah itu karena kualitas game atau karena praktik bisnis mereka. Sebetulnya ada apa dengan Capcom? Mengapa mereka dulu jadi target hujatan, dan perubahan apa yang membuat mereka jadi hebat seperti sekarang? Yuk, simak pembahasan Gimbot!

Evolusi di Awal Era PS3

Resident Evil 4, salah satu game horor terbaik | Sumber: Steam

Untuk memahami perjalanan Capcom, Gimbot rasa kita perlu menilik kondisi mereka di awal generasi PS3, tepatnya ketika pengembangan Devil May Cry 4 baru dimulai. Saat itu Capcom sedang berada di masa kejayaan setelah sejumlah game mereka laku keras di era PS2. Resident Evil 4 sukses besar, bahkan disebut-sebut salah satu game horor terbaik sepanjang masa. Sejumlah seri lain seperti Devil May Cry 3 dan Onimusha juga laris dan mendapat penerimaan baik dari para penggemar.

Kesuksesan ini mendorong Capcom untuk mempersiapkan diri menuju generasi console berikutnya lebih cepat. Mereka merancang sebuah platform pengembangan game bernama MT Framework (Multi-Target Framework), supaya developer bisa berkolaborasi dengan lebih efektif serta dapat mengembangkan satu game untuk banyak platform sekaligus. Dalam wawancaranya dengan Gamasutra pada tahun 2007, produser Devil May Cry 4, Hiroyuki Kobayashi, bercerita bahwa pengembangan DMC 4 bahkan sudah bisa dimulai sebelum spesifikasi PS3 ditetapkan, berkat MT Framework.

Hiroyuki Kobayashi, produser sejumlah proyek di Capcom | Sumber: Gigazine

Pengembangan Devil May Cry 4 ini sekaligus juga jadi momen perubahan kultur dalam tubuh Capcom. Walaupun franchise DMC masih tetap sukses, sebetulnya total angka penjualannya terus menurun. Capcom khawatir penggemar bosan, sehingga mereka merasa ingin menciptakan sesuatu yang baru (termasuk menciptakan tokoh utama baru, yaitu Nero). Capcom juga merasa perlu lebih mengetahui keinginan para gamer, terutama gamer barat.

Menemukan Resep Mujarab

Capcom sangat banyak mendengar feedback dari pihak luar saat mengembangkan Devil May Cry 4. Mereka mengundang sejumlah jurnalis untuk memainkan prototipe game tersebut, kemudian menyesuaikan tingkat kesulitan berdasarkan masukan para undangan. Capcom juga memastikan supaya gaya bicara dan gerak-gerik para karakter DMC 4 terasa natural bagi para pemain yang berbahasa Inggris.

Semua usaha ini membuahkan hasil, Devil May Cry 4 terjual lebih dari 3 juta kopi, menjadikannya judul DMC terlaris sepanjang masa sebelum disalip oleh Devil May Cry 5. Ternyata, membuat game yang selaras dengan pasar gamer barat adalah strategi tepat sasaran. Kobayashi mengaku bahwa timnya tidak mengembangkan game dengan niat mengikuti selera pasar dari wilayah tertentu. Tapi pada kenyataannya, Capcom sedang mengalami pergerakan ke arah sana.

Keiji Inafune pencetus franchise Dead Rising dan Lost Planet | Sumber: Kotaku

Keiji Inafune, yang saat itu menjabat sebagai kepala divisi R&D (Research and Development) di Capcom, merupakan salah satu orang yang sangat mendorong upaya “westernisasi” ini. Karena usulan Inafune-lah, developer tersebut akhirnya mencoba mengembangkan game yang lebih kebarat-baratan. Atau lebih tepatnya, istilah yang mereka gunakan saat itu adalah “game dengan daya tarik global”. Dua franchise baru muncul, Dead Rising dan Lost Planet. Ternyata, keduanya pun sukses! Di puncak kejayaannya, Dead Rising 2 terjual sebanyak 3,1 juta kopi, sementara Lost Planet: Extreme Condition mencapai 2,8 juta kopi.

Capcom menemukan resep mujarab untuk pengembangan game mereka: ciptakan game dengan daya tarik global, lebih mengincar pasar barat, dan gunakan teknologi canggih untuk memberi kualitas visual yang keren. Di masa-masa ini, Inafune sempat menimbulkan kontroversi atas pernyataannya bahwa game buatan developer Jepang kebanyakan jelek, tertinggal lima tahun dari ciptaan developer barat. Akhirnya tak hanya Devil May Cry, Dead Rising, dan Lost Planet saja yang mengandung arahan kebarat-baratan. Seri Resident Evil juga terkena imbasnya.

Resident Evil 5, di bawah arahan director Jun Takeuchi, dikembangkan dari awal dengan target pasar barat. Game ini memiliki sistem kontrol baru, mengandung fitur multiplayer, menghapus sistem save point, dan banyak perubahan lain. Hasilnya? Resident Evil terlaris sepanjang sejarah, dengan total penjualan mencapai 7,6 juta kopi! Hingga awal tahun 2020, ini adalah rekor yang masih belum terpecahkan. Resident Evil 5 menduduki peringkat 2 di tangga Capcom Platinum Titles, hanya kalah oleh Monster Hunter: World.

Ambisi Kebablasan

Resident Evil 6, disebut oleh Capcom sebagai “horror entertainment” | Sumber: Capcom

Kesuksesan demi kesuksesan, mungkin membuat Capcom sedikit lupa diri. Mereka berambisi untuk terus tumbuh lebih besar, dan berusaha untuk mengambil hati pasar global lebih jauh lagi. Bagaimana arahan Resident Evil 6? Lebih sedikit puzzle dan lebih banyak action, kemudian kurangi elemen horor agar bisa menarik gamer yang bukan penggemar horor. Mau dibawa ke mana seri Devil May Cry? Rombak dari awal, buat dengan suasana kebarat-baratan, demi menggaet pasar lebih luas lagi. Lahirlah DmC: Devil May Cry. Developernya pun bukan Capcom, tapi developer dari Inggris yaitu Ninja Theory.

Tidak hanya DmC: Devil May Cry yang dibuat dengan tenaga developer luar. Sejumlah proyek Capcom lain era ini pun diserahkan pada tenaga outsourcing, berlawanan dengan kultur Capcom generasi sebelumnya. Saat era Devil May Cry 4, jumlah developer di Capcom sebetulnya tidak begitu banyak, sehingga umumnya mereka mengerjakan game satu demi satu. Tapi kemudian cara kerja Capcom berubah. Lewat outsourcing, mereka ingin bisa mengembangkan dan merilis lebih banyak game sekaligus.

Street Fighter IV, Bionic Commando, Resident Evil: Operation Raccoon City, hingga Lost Planet 3, banyak sekali judul Capcom di masa-masa tersebut yang dikerjakan oleh studio luar. Hasilnya? Ada sih yang bagus, seperti Street Fighter IV. Tapi kebanyakan mengecewakan. Kalaupun tidak sampai jadi bencana total, hasil penjualannya selalu di bawah game prekuelnya. Mulai banyak penggemar yang vokal melayangkan protes, bukan hanya karena kualitas game jelek tapi juga karena mereka merasa Capcom lupa apa yang membuat deretan franchise tadi disukai pada awalnya.

Resident Evil: Operation Raccoon City, proyek outsourcing yang gagal | Sumber: MyGaming

Mirisnya (atau mungkin lucunya) Capcom seperti tidak sadar bahwa akar masalah mereka ada pada kualitas. Demi mendongkrak pemasukan, Capcom malah memilih menjalankan sejumlah praktik bisnis yang membuat penggemar antipati. Perilisan game dengan banyak DLC, pergeseran fokus ke game online dan mobile, tidak merilis franchise populer dalam bahasa Inggris, eksklusivitas demi menekan biaya, hingga pembatalan game yang banyak dinanti, semakin memantapkan posisi sebagai developer yang menyebalkan.

Pertaubatan Capcom

Capcom boleh saja pura-pura semua sedang baik-baik saja, namun bila divisi finance sudah bersabda, siapa berani membantah? Laporan keuangan Capcom di tahun 2012 jadi lampu merah, pertanda bahwa sudah seharusnya ada sesuatu yang berubah. Di tahun ini, akhirnya Capcom mengakui bahwa strategi outsourcing mereka telah jadi bumerang.

Capcom melakukan perombakan besar-besaran dalam cara pengembangan game mereka. Begitu besarnya, sampai-sampai mereka harus mengumumkan kondisi “special loss” (kerugian khusus) di tahun 2013. Mereka “membakar” dana senilai kurang lebih 7 miliar yen (sekitar Rp873 miliar) untuk restrukturisasi serta revisi strategi bisnis dan pengembangan game. Memasuki era baru dengan satu tekad sederhana: meningkatkan kualitas produk.

Resident Evil 7, kembali ke akar survival horror | Sumber: Lady Geek Girl and Friends

Demi menerbitkan produk dengan kualitas terbaik, Capcom mengkaji ulang sejumlah judul yang sedang dalam pengembangan, juga mengkaji ulang kerja sama mereka dengan studio-studio luar negeri. Sejumlah layanan game yang tidak menguntungkan ditutup, dan proyek-proyek outsourcing dikurangi. Capcom mulai fokus pada pengembangan game secara internal. Sementara dari segi strategi penjualan, mereka mulai lebih gencar mengadopsi distribusi game secara digital.

Capcom memulai dua proyek yang sangat signifikan di periode “taubat” pada tahun 2013 ini. Pertama adalah Resident Evil 7: Biohazard, dan kedua adalah Monster Hunter: World. Ada cerita menarik di balik pengembangan dua game tersebut, yang menunjukkan betapa seriusnya Capcom untuk kembali ke akar dan menciptakan game yang sesuai dengan identitas mereka.

Resident Evil 7: Biohazard, ketika pertama kali dikembangkan, sebetulnya tidak seperti yang kita kenal sekarang. Prototipe pertamanya lebih mirip dengan Resident Evil 6, dengan gameplay yang banyak mengandung aksi. Tapi kemudian Capcom melakukan evaluasi ulang, dan merasa bahwa akan lebih baik bila mereka kembali ke akar seri Resident Evil, yaitu survival horror. Capcom melakukan langkah sangat berisiko dengan merombak Resident Evil 7: Biohazard menjadi first person, tujuannya supaya nuansa horor itu lebih kental terasa.

Monster Hunter: World, butuh setahun untuk merancang konsepnya saja | Sumber: The Verge

Sementara itu, proses produksi Monster Hunter: World sebetulnya baru berjalan sejak tahun 2014, namun proyeknya sudah dimulai di tahun 2013. Apa yang mereka lakukan selama jeda setahun itu? Brainstorming. Capcom menghabiskan waktu cukup lama untuk merancang Monster Hunter: World akan jadi seperti apa, dan lagi-lagi, mengambil risiko besar demi menciptakan sesuatu yang dirasa akan memuaskan penggemar: sebuah judul Monster Hunter di console modern, dengan skala yang lebih besar dan lebih canggih dari judul-judul sebelumnya.

Investasi pada Efisiensi

Pengembangan game secara internal bukan satu-satunya strategi baru Capcom dalam pengembangan game. Mereka juga kembali memikirkan efisiensi, mirip seperti filosofi penciptaan MT Framework dulu.

Memasuki era PS4, Capcom sempat memamerkan engine baru yang sangat canggih bernama Panta Rhei, yang rencananya akan digunakan untuk game berjudul Deep Down. Tapi kemudian tidak ada kabar lebih lanjut tentang engine maupun game tersebut. Ini hanya spekulasi, tapi bisa jadi pengembangan keduanya dihentikan atau dibekukan sementara karena tidak sesuai dengan arahan strategi Capcom yang telah berubah.

Deep Down, ke mana perginya sekarang? | Sumber: VideoGamer

Alih-alih meneruskan penggunaan Panta Rhei, Capcom justru mengembangkan MT Framework lebih lanjut untuk mendukung proses pembuatan Monster Hunter: World. Mereka juga menciptakan engine baru, bernama Reach for the Moon Engine (disingkat RE Engine), yang kemudian digunakan dalam pembuatan Resident Evil 7: Biohazard.

Dalam laporan Capcom di tahun 2017, mereka mengatakan bahwa pengembangan RE Engine dilakukan bersamaan dengan pengembangan Resident Evil 7. Tujuan utama RE Engine diciptakan ada dua. Pertama, menghasilkan game dengan kualitas visual yang lebih realistis. Kedua, memangkas waktu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah game. Menurut Capcom, RE Engine dapat mempersingkat waktu yang diperlukan untuk melakukan testing hingga 90%, juga memiliki kemampuan untuk memasukkan aset-aset baru secara real time.

Dari segi kualitas visual, RE Engine memungkinkan Capcom untuk memindai objek-objek sungguhan, kemudian mengubahnya menjadi model 3D dengan tingkat detail tekstur yang sangat nyata. Teknik pemindaian yang disebut photogrammetry ini dilakukan di dalam studio khusus dengan ratusan kamera, dan memberikan perubahan yang cukup drastis dalam cara Capcom mengembangkan game.

Teknik photogrammetry, memindai objek nyata menjadi model 3D | Sumber: Capcom

Biasanya penciptaan model 3D dilakukan dengan perancangan poligon terlebih dahulu lalu menempelkan tekstur di atasnya. Tapi photogrammetry bisa menciptakan model 3D dengan akurasi bentuk dan tekstur yang sama hanya dengan cara memindai. Sebagai gantinya, developer tersebut harus menyiapkan aktor, kostum, dan properti lainnya di dunia nyata terlebih dahulu untuk bahan scan. Karena itulah judul-judul Capcom yang menggunakan RE Engine selalu mengandung karakter yang wajahnya diambil dari aktor atau model dari dunia nyata.

Pembuatan RE Engine serta studio photogrammetry jelas makan banyak biaya. Belum lagi ditambah dengan biaya untuk menyewa aktor, membuat kostum, dan lain sebagainya. Konon, biaya untuk membuat kostum Nero di Devil May Cry 5 saja sudah setara dengan harga sebuah mobil. Namun dalam sebuah wawancara dengan Tech Radar, tim developer Capcom berkata bahwa kemudahan pengembangan serta kualitas produk yang dihasilkan sangat sepadan dengan investasinya, apalagi bila dibandingkan dengan metode pembuatan model 3D tradisional.

Terbukti, Resident Evil 7: Biohazard, Resident Evil 2 remake, serta Devil May Cry 5, semua mendapat pujian atas kualitas visualnya yang begitu menawan. Sementara itu MT Framework tetap digunakan untuk pengembangan game yang tidak butuh kualitas visual terlalu realistis. Contohnya Monster Hunter: World dan Mega Man 11.

Capcom, Sekarang dan Seterusnya

“Capcom is back!” kata CEO Capcom USA, Kiichiro Urata, menjelang perilisan Devil May Cry 5 tahun lalu. Bukan ungkapan tanpa dasar, melihat bagaimana perubahan strategi pengembangan game yang mereka lakukan ternyata berbuah manis.

Resident Evil 7: Biohazard, meskipun berbeda dari Resident Evil biasanya, berhasil menggaet hati jutaan penggemar horor. Begitu pula Resident Evil 2 remake, game ini banyak disebut sebagai sebuah remake yang sempurna. Devil May Cry 5 menyabet gelar Best Action Game di The Game Awards 2019, dan Monster Hunter: World jadi game Capcom terlaris sepanjang masa.

Menariknya, Capcom kini punya filosofi yang berbeda dalam pembuatan sebuah game. Mereka tidak lagi mementingkan profit semata. COO Capcom Europe, Stuart Turner, pernah berkata, “Kami lebih suka game yang mendapat (nilai) 9 dan terjual lebih sedikit, daripada mendapat (nilai) 6 tapi terjual lebih banyak.”

Itu bukan berarti Capcom sama sekali tak peduli dengan pasar. Melainkan tetap berusaha agar game mereka laris, namun kini mereka lebih berani mengambil risiko bila dirasa memang sesuai dengan visi pembuatan game itu. Capcom juga tak lagi berambisi untuk merangkul pasar sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, ia menyadari bahwa mereka sudah punya penggemar setia, dan ingin fokus untuk memuaskan segmen tersebut.

Banyak orang berkata Devil May Cry 5 layak dapat gelar Game of the Year 2019 | Sumber: Manga Council

Sebagai contoh, Monster Hunter: World dan Resident Evil 7: Biohazard sekarang memang sudah sukses. Tapi ketika dalam tahap pengembangan, Capcom merasa bahwa perubahan yang begitu drastis berpotensi membuat game ini tidak akan diminati sebagian orang.. Walaupun demikian mereka tetap berani meluncurkan dua produk tersebut, karena mereka yakin sudah berusaha sebaik mungkin untuk memberikan pengalaman terbaik sesuai dengan “akar” dari franchise aslinya.

Untuk mengimbangi risiko, Capcom kini lebih cermat dalam menentukan skala dan ekspektasi dari suatu game. Penjualan Resident Evil 7 sempat tertinggal dibandingkan prekuelnya, tapi bagi Capcom game ini sudah memuaskan, karena Resident Evil 7 bisa terus dijual untuk waktu yang lama dan dapat dijual sebagai game virtual reality. Mega Man 11 juga mengandung risiko karena mereka harus membangkitkan kembali franchise yang sedang tertidur. Game tersebut “hanya” terjual sekitar 1 juta kopi, namun hasil itu juga sudah memuaskan karena Mega Man 11 dikembangkan dengan anggaran yang relatif kecil.

Ke depannya, Capcom masih akan melanjutkan strategi pengembangan game yang efisien ini. Capcom sudah menyiapkan RE Engine untuk pembuatan game di console next-gen, dan mereka mengaku sedang menjalankan sejumlah proyek menggunakan engine tersebut. Di samping itu, Capcom juga akan terus bereksperimen menciptakan game dengan bujet kecil. Mereka telah menyatakan minat untuk membangkitkan sejumlah franchise yang sedang “mati suri” seperti Mega Man, juga membuat sejumlah remake untuk memenuhi permintaan penggemar, salah satunya Resident Evil 3.

Secara garis besar, arah perjalanan Capcom terlihat seperti sebuah perusahaan game yang ideal. Di satu sisi mereka menciptakan game berkualitas tinggi dengan cara seefisien mungkin, di sisi lain mengambil risiko demi memuaskan fans sambil tetap menjaga profitabilitas. Semua orang senang, rasanya seperti sebuah mimpi saja.

Kemampuannya mewujudkan situasi yang seperti mimpi itulah alasan mengapa mereka sekarang dijuluki sebagai “Capgod”. Dan bila perusahaan ini bisa terus mempertahankannya, tidak akan mengejutkan kalau Capcom mendapat pengakuan sebagai developer terbaik di dunia. Tinggal tunggu waktu yang membuktikan, apakah gelar “Capgod” itu memang layak disandang, atau ambisi akan mendorong mereka tergelincir kembali ke dalam lubang yang sama.


Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Ayyub Mustofa

Jarang main game sampai tamat kecuali untuk review. Menyukai hampir semua genre, dan hingga kini masih menunggu kemunculan Megaman X9.